07 September 2012

Curah Hujan di Wilayah Indonesia



Gambar 1 Tipe Hujan di Wilayah Indonesia

Hujan merupakan salah satu bentuk endapan (presipitasi) yang berbentuk cair yang jatuh ke permukaan bumi (Bayong, 2004) sebagai akibat ukuran partikel atau butir air yang membesar sehingga dapat melawan gaya apung udara. Pola curah hujan di Indonesia, dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :
a.
Pola curah hujan monsunal, yang dipengaruhi oleh angin laut atau darat dalam skala yang sangat luas dicirikan oleh perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dalam setahun.
b.
Pola curah hujan ekuatorial, yang berhubungan dengan gerakan daerah konvergensi ke utara dan selatan mengikuti pergeseran matahari, dicirikan oleh dua kali maksimum curah hujan bulanan dalam satu tahun.
c.
Pola curah hujan lokal, dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi lokal setempat, dimana faktor-faktor pembentukannya secara umum dapat dibedakan dalam dua jenis :
- naiknya udara lembab secara paksa dari aliran udara yang menuju ke dataran tinggi atau pegunungan
- pemanasan lokal yang tidak seimbang


Pola curah hujan lokal memiliki ciri yang berkebalikan dengan pola hujan monsunal, yaitu saat wilayah pola hujan monsunal mengalami musim hujan, maka wilayah dengan pola hujan lokal mengalami musim kemarau. Berdasarkan proses terjadinya hujan pola lokal dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1.
Hujan konveksi (Convectional Precipitation), terjadi sebagai akibat dari pemanasan radiasi matahari, sehingga udara permukaan akan dipaksa naik keatas. Dalam kondisi atmosfer yang lembab udara panas yang naik akan mengalami penurunan suhu dan pada akhirnya mengalami kondensasi sehingga terbentuk butir-butir awan. Jika udara yang berkondensasi banyak dan kondisi atmosfer tidak stabil maka akan tumbuh awan jenis cumulonimbus yang dapat menyebabkan hujan lebat.
2.
Hujan Orografis (Orographic Precipitation) , terjadi akibat udara bergerak melalui pegunungan atau bukit yang tinggi, sehingga udara akan di paksa naik mengikuti gunung atau bukit. Udara yang naik mengalami penurunan suhu terhadap ketinggian sehingga sampai terkondensasi dan terbentuk awan hujan di lereng atas angin (windward). Sedangkan di bagian lereng bawah angin (leeward) udara yang menuruni lereng akan mengalami pemanasan kembali sehingga bersifat kering.
Gambar 2 Hujan Orografik (Bayong, 2004)


Wilayah Indonesia yang merupakan wilayah tropis dan maritim kontinen dengan pemanasan radiasi yang intensif sepanjang tahun dan suplai massa uap air yang banyak dari lautan menyebabkan jenis hujan yang sering terjadi adalah hujan konvektif (Juaeni,2006). Hujan orografis dan konvergensi juga sering terjadi di wilayah Indonesia mengingat topografi Indonesia yang banyak terdapat daerah pegunungan dan Indonesia juga merupakan daerah pertemuan angin pasat sebagai daerah konvergensi. Sehingga intensitas hujannya lebih lebat dibandingkan dengan daerah lintang menengah dan tinggi (Bayong, 2004).




Referensi :
1.Bayong,T.H.K., 2004, Klimatologi, ITB, Bandung
2.Juaeni, I., 2006, Analisis Variabilitas Curah Hujan Wilayah Indonesia Berdasarkan Pengamatan Tahun 1975 – 2004, Jurnal Matematika UNDIP, Semarang

Atmosfer Bumi

Atmosfer merupakan udara yang menyelubingi bumi dengan ketebalan mencapai 1000 km dari permukaan bumi dan massa total mencapai 5600 triliun ton (Ahrens, 2000). Dimana 99% dari massa atmosfer berada pada lapisan antara permukaan bumi hingga 35 km diatas permukaan (Bayong 2004). Lapisan Udara ini tersusun atas gas-gas (table 1) dan 99.03% gas permanen didominasi oleh gas Nitrogen, Oksigen, Argon.

Tabel 1 Komposisi Atmosfer (Ahrens, 2000)

Di dekat permukaan terdapat suatu sistem kesetimbangan antara keluar dan masuknya beberapa gas diatas di atmosfer. Sebagai contoh Nitrogen keluar dari atmosfer dikarenakan oleh proses biologi yang melibatkan bakteri tanah dan masuknya gas N2 ke atmosfer berasal dari sisa-sisa pembusukan tumbuhan dan binatang. Oksigen diatmosfer berasal dari proses fotosintesis oleh tanaman dengan bantuan radiasi maahari sehingga dapat mengolah CO2 dan H2O menjadi gula dan Oksigen. Sedangkan hilangnya Oksigen dari atmosfer karena dimanfaatan dalam proses pernafasan mahkluk hidup (Ahrens, 2000).
Gas Helium, Argon, Neon dan Xenon merupakan gas yang tidak reaktif sehingga sulit bergabung dengan unsur lain yang disebut dengan gas mulia. Dimana gas helium memiliki massa yang ringan demikian juga dengan gas hydrogen, sehingga keberadaan gas ini berada pada lapisan atas dan dalam meteorologi sering digunakan untuk mengisi balon meteorologi dalam pengamatan udara atas.
Uap air mempunyai peran yang sangat penting dalam atmosfer yang berasal dari proses evaporasi dan konsentrasinya berbeda-beda secara spasial (tempat) dan temporal (waktu) bergantung pada suhu dan ketersediaan air di permukaan. Sehingga konsentrasi 0 hingga 4% merupakaan variasi dari tempat yang gersang hingga daerah tropis (Prawirowardoyo, 1996). Akibat adanya uap air maka udara menjadi lebih lembab dan proses pembentukan awan dan hujan dapat terjadi.
Karbon Dioksida di atmosfer berasal dari letusan gunung berapi, pernafasan makhluk hidup dan pembakaran bahan bakar fosil. Sedangkan keluarnya CO2 dari atmosfer yaitu karena dimanfaatkan oleh tumbuhan hijau untuk bahan baku fotosintesis. CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca yang mempunyai sifat tembus terhadap radiasi gelombang pendek dan menyerap radiasi gelombang panjang. Sehingga menyebabkan kenaikan suhu di permukaan bumi. Berdasarkan hasil pantauan NOAA (gambar 1a) konsentrasi gas CO2 secara rata-rata mengalami peningkatan dari tahun-ketahun sesuai dengan tingkat kemajuan industri dunia.
Gambar 1 Grafik Peningkatan CO2 (a) dan Metana (b) terhadap Tahun

Demikian juga halnya dengan gas metana (gambar 1b) yang juga merupakan gas rumah kaca mengalami peningkatan secara rata-rata. Di atmosfer gas metana berasal dari kerusakan tanaman oleh bakteri, aktifitas rayap dan reaksi biokimia pada perut sapi. Sedangkan N2O terbentuk di tanah melalui proses kimia yang melibatkan bakteri dan mikroba.
Ozone dipermukaan merupakan photochemical smog yang dapat menyebabkan iritasi mata dan kerongkongan dan merusak tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi keberadaan di permukaan hanya sebagian kecil saja, 97% dapat di temukan di lapisan Stratosfer. Walaupun persentase volume ozone di atmosfer sangat ecil namun mempunyai peran yang sangat penting dalam melindungi mahkluk hidup dari sinar ultraviolet. Akan tetapi saat ini dikatakan telah terjadi penipisan lapisan ozone yang diakibatkan oleh Chlorofluorocarbons (CFCs). Gas CFCs in dihasilkan dari alat pendingin seperti Kulkas , AC, Aerosol Spray dan larutan pembersih.

Gas-gas di atmosfer pada dasarnya mempunyai sifat dapat dimampatkan, sehingga molekul - molekul udara semakin dekat dengan permukaan mempunyai densitas (kerapatan) lebih besar dibandingkan dengan atmosfer lapisan atas (gambar 2).
Gambar 2 Grafik Penurunan Tekanan terhadap Ketinggian (Ahrens, 2000)
Berat molekul atmosfer dalam suatu luasan tertentu disebut sebagai tekanan atmosfer. Di mana tekanan atmosfer di permukaan laut sebesar 1013.25 hPa = 1013.25 mb. Dari permukaan laut tekanan menurun dengan cepat hingga ketinggian 20 km diatas permulaan laut dan setelahnya mengalami penurunan dengan lambat. Sekitar 92% dari jumlah molekul atmosfer berada di bawah ketinggian 20 km (gambar 2b).

Gambar 3 Profile Vertikal Suhu Atmosfer  (Ahrens, 2000) 
Berbeda halnya dengan tekanan udara yang mengalami penurunan secara ekponensial terhadap ketinggian, Temperatur atau suhu udara perubahannya berbeda-beda pada setiap layer atau lapisan atmoafer. Pada lapisan paling bawah (Troposfer) suhu udara mengalami penurunan terhadap ketinggian yang disebut dengan lapse rate. Hal ini terjadi karena molekul udara sedikit menyerap gelombang pendek radiasi matahari dan meneruskannya ke permukaan bumi. Akibatnya bumi memancarkan kembai dalam bentuk gelombang panjang. Sehingga pemanasan yang terjadi di lapisan Troposfer adalah pemanasan dari bawah (permukaan bumi). Maka suhu udara di dekat permukaan akan lebih panas dibandingkan dengan suhu diatasnya. Besarnya lapse rate berbeda-beda yaitu berkisar antara 0.5 ˚C /100 meter hingga 1 ˚C /100 meter. Jadi rata-rata penurunan suhu udara terhadap ketinggian sebesar 0.65 ˚C/100 meter (Bayong, 2004). Lapisan diatas troposfer disebut sebagai lapisan Stratosfer yang ditandai dengan peningkatan suhu terhadap ketinggian. Pembatas antara Troposfer dengan Stratosfer disebut dengan Tropopause yang ditandai dengan nilai lapse rate = 0. Keinggian lapisan Tropopause ini bervariasi terhadap lintang. Di Khatulistiwa sekitar 16 km dan menurun hingga 8 Km di daerah Kutub. Peningkatan suhu pada lapisan Stratosfer diakibatkan karena adanya lapisan ozon yang banyak menyerap radiasi ultraviolet matahari (Prawirowardoyo, 1996). Lapisan diatas Stratosfer adalah Mesosfer yang dipatasi oleh lapisan Stratopause.  Pada lapisan ini terjadi penurunan suhu terhadap ketinggian diakibatkan oleh sangat sedikitnya jumlah gas pada lapisan ini, sehingga penyerapan terhapan radiasi matahari juga sangat sedikit.
Lapisan di atas mesosfer disebut dengan Termosfer. Pada lapisan ini suhu mengalami peningkatan dikarenakan adanya penyerapan radiasi ultraviolet oleh atom oksigen. Proses ionisasi akibat sinar X dan ultraviolet terjadi pada lapisan ini kira-kira pada ketinggian 200 km (Prawirowardoyo, 1996).



 Referensi :
1. Bayong, T.H.K., 2004, Klimatologi, Penerbit ITB, Bandung
2. Ahrens, C.D., 2000  , Essential of Meteorology An Invitation to the Atmosphere 3rd edition, Broke
    Cole, USA
      3. Prawirowardoyo, S., 1996, Meteorologi, Penerbit ITB, Bandung